Menerbitkan Buku, Dibayar? Iya Dong!

Menerbitkan Buku, Dibayar? Iya Dong!

“Eh, kamu nerbitkan buku itu bayar berapa ke penerbit D? Pasti mahal ya karena penerbit besar!”

“Gila, bukumu banyak! Habis berapa itu biayanya?”

Itulah beberapa pertanyaan yang bikin teman-temanku penulis tercengang. Ketika mereka menjawab bahwa menerbitkan buku itu tidak keluar biaya apapun malah mendapat bayaran ganti teman-temannya yang terperangah.

“Serius, menulis buku kita dibayar penerbit? Tenan?”

Menerbitkan Buku, Dibayar? Iya Dong!
Menerbit Buku, Dibayar? Iya Dong! (Foto: Pexels, pixabay.com)

Yup, serius banget, Bestie. Untuk apa aku dan teman-teman capek menulis buku, mengerahkan segenap tenaga dan pemikiran hingga keringetan untuk menghasilkan naskah buku jika gratisan belaka? Hehe. Mending cari pekerjaan lain, dong. Uhuk.

Usut punya usut, ternyata temannya si penulis yang bertanya itu telah menerbitkan 12 buku dan menghabiskan biaya sekitar 24 juta rupiah. Ya, jangan kaget dengan jumlahnya, ya. Ia menerbitkan bukunya di penerbit indie dan harus mengeluarkan sekitar Rp2.000.000 per buku. Aku nggak tahu detailnya bagaimana ya dan untuk tujuan apa ia menerbitkan bukunya tersebut. 

Baca Juga: Storytel Audio Books

Tapi, ternyata banyak lho yang tidak tahu kalau untuk menerbitkan buku di penerbit mayor itu tidak butuh biaya sama sekali. Malah penulis yang naskahnya berhasil diterima penerbit akan dicetak dan mendapat bayaran dari karyanya tersebut.

Jadi, kalau selama ini aku menerbitkan bukuku di berbagai penerbit diantaranya Penerbit Gradien Mediatama, Penerbit Mizan, Penerbit BIP, Penerbit Tiga Serangkai dan lainnya itu aku mendapat bayaran berupa royalti dari mereka. Itulah yang kupakai untuk menyambung hidup dan membeli Logam Mulia serta sebongkah berlian, hihihi.

Saat ini, ada beberapa jenis penerbit di Indonesia diantaranya penerbit mayor, penerbit indie dan penerbit vanity dan self publishing. Apa perbedaannya? Nanti kita bahas di artikel berikutnya ya. Nah, kalau kamu menulis di penerbit buku mayor biasanya kamu akan mendapat honor dari penerbit.

Apa itu penerbit mayor?

Penerbit mayor biasanya sebutan untuk penerbit yang skala usahanya sudah besar. Badan usahanya biasanya berupa PT dan memiliki modal besar. Penerbit mayor biasanya sudah punya nama yang dikenal di kalangan pembaca dan manajemennya sudah bagus. Beberapa penerbit yang kusebutkan di atas tadi adalah contoh penerbit mayor.

Sistem kerjasama penulis yang menerbitkan buku di penerbit mayor ada yang sistem beli putus atau sistem royalti. Biasanya penerbit yang menentukan apakah naskah kita akan dibeli putus atau sistem royalti. Tapi, para penulis juga bisa mengusulkan bagaimana ia ingin dibayar.

Menerbitkan Buku, Dibayar? Iya Dong!
Deretan buku di toko buku (Foto: LubosHouska, pixabay.com)

Apa itu beli putus? Sistem beli putus naskah ini jika naskah buku kita yang akan diterbitkan dibayar penerbit langsung. Jadi, misalnya naskah bukumu dibeli putus maka kamu akan mendapat bayaran satu kali saja diawal. Tidak ada pembagian honor lagi ketika naskahmu dicetak ulang, misalnya. Kita hanya mendapat bayaran satu kali saja. Biasanya sistem ini untuk naskah buku anak picture book. Keuntungannya kita mendapat bayaran diawal. Kerugiannya, jika ternyata setelah terbit buku kita laku di pasaran dan dicetak ulang pun kita takkan mendapat apa-apa lagi.

Bagaimana dengan sistem royalti? Kalau kerjasama kita dengan sistem royalti, maka kita akan mendapat bagian dari setiap buku kita yang terjual di penerbit. Biasanya royalti berkisar 5%-15% tergantung perjanjian dengan penerbit ya. Pembayaran royalti biasanya ada jangka waktunya mulai dari 1-6 bulan sekali tergantung aturan penerbit.

Baca Juga: Membacakan Nyaring, Bagaimana Aturannya?

Nah, namanya penerbit mayor maka untuk bisa lolos diterbitkan di sana tentu tidak mudah. Banyak penulis yang berlomba-lomba mengirimkan naskah bukunya sehingga proses seleksi naskah di sana berlangsung lama. Biasanya waktu seleksi naskah itu berkisar antara 3-6 bulan. Itu pun hasilnya belum tentu diterima! Setelah kita dapat kabar dari editor naskah kita lolos pun jangan terburu happy dulu. Proses penerbitan kita masih panjang! Mulai dari editing naskah, layout, dan lainnya yang bisa makan waktu berbulan-bulan. Jadi, nggak salah kalau profesi penulis itu hanya bisa digeluti oleh orang-orang sabar, hehe.

So, jika kamu ingin menjajal naskahmu untuk penerbit mayor pastikan pelajari dulu buku-buku yang sudah terbit di sana. Apakah naskahmu sudah sesuai dengan visi dan misi penerbit tersebut? Setelah kamu kirimkan naskahmu ke penerbit, jangan lupa untuk menulis lagi naskah buku yang lain dan jangan berhenti menulis. Jangan menunggu info apakah tulisanmu diterima atau ditolak penerbit ya. Terus saja menulis dan menulis. Selesaikan naskah bukumu, kirimkan dan lupakan. Tulis lagi. Begitulah siklus para penulis buku, hehe. Jadi, nerbitin buku dibayar? Tentu saja!

Posting Komentar

10 Komentar

  1. Kalo aku perhatiin sih kayaknya masing² kita lebih memilih yg terbiasa kita lakukan. Misalnya kita yg biasa dgn penerbit mayor, biasanya cenderung mayor terus. Sebaliknya yg biasa indie, biasanya indie terus. Aku juga punya teman yg lebih suka menerbitkan indie karena gak ribet, cepet dan kurasinya gak susah. Kalo aku sih sama kayak Mbak Dedew, lebih suka mayor meskipun lama dan banyak revisi hehe..

    BalasHapus
  2. Kalau penerbit mayor sih begitu. Kita akan mendapatkan bayaran. Cuma ya. Memang perlu usaha lebih untuk bisa tembus penerbitan mayor.

    Nah, sepakat ya. Jangan pernah berhenti menulis sekalipun kita sedang menunggu kabar apakah karya kita akan lolos penerbitan atau nggak.

    Kadang kita akan mendapatkan kabar yang nggak terduga saat melupakannya. Hehehe

    BalasHapus
  3. Aku sekali ngalamin 2 tulisan diterbitkan dalam buku kompilasi ttg Ho(s)Tel, Ama penulis utama mas Ariy. Tapi lgs dibayar sih itu 😁. Dan seneng aja bisa Nerima honor dari tulisan pengalaman sendiri. Cuma ntah kenapa aku nya yang malah males ga mau coba bikin buku sendiri mba 🤣. Keenakan baca, tp males nulis 😅.

    BalasHapus
  4. Pengalaman saya dengan salah satu penerbit mayor di Indonesia pernah saya rasakan, mulai dari dibayar hakciptanya hingga diberikan royalti dalam beberapa tahun setelah buku terbit.
    Tapi saat banyak yang berubah digital, terasa berubah juga dari segi pemasukan

    BalasHapus
  5. Dulu idaman banget jadi penulis buku ga taunya cm sebatas cerpen aja akutu apalagi cerita temenku yang bener bener kudu fokus kereen pokoknya, kalau aku paling ga bs fokus sampai selama itu, akutu ketolong sama blog dan medsos aja bisa nulis simple rutin alhamdulillah hehe...thanks tipsnya

    BalasHapus
  6. Salut banget, kak Dew..
    Aku punya salah satu teman penulis juga. Dan karyanya menurutku luar biasa, namun penerbit mayor merasa karya beliau dari sisi bisnis tidak akan menghasilkan, sehingga gagal terbit di penerbit mayor kecuali ia mau merubah beberapa hal, termasuk bahasa yang digunakan. Ia menulis novel dalam bahasa inggris.

    Memang sulit sekali menembus penerbit mayor dan kadang kudu menghilangkan idealisme dari sang penulis.

    BalasHapus
  7. Aku pengen banget bisa nerbitin buku dan produktif nulis kayak mb Dedew, pengen belajar konsisten nulis deh.

    BalasHapus
  8. Pengen banget deh kayak mb Dedew yg produktif nerbitin buku. Lagi belajar konsisten buat nulis nih

    BalasHapus
  9. Wah, punya buku sendiri dengan penerbit mayor masih mejadi impianku sih, mbak. Duluuuu bangeeed, aku pernah loh kirim 1 naskah solo dan dikirmkan ke penerbit mayor, eh belum berhasil. Tapi memang dasar akunya males, sampai sekarang belum mencoba kembali hahaha :D

    BalasHapus
  10. Mba, aku pengen banget nerbitin buku, tapi ga pede. Beneran ga pede, baca buku orang tuh tulisannya bagus-bagus. Yuk mba bikin kelas buat nulis naskah untuk buku huhu

    BalasHapus